Generasi Anak Ayam

Anak ayam.
Itu sebutan seorang teman terhadap generasi sekarang ini. Generasi kita. Generasi saya dan kamu.

Penjelasannya?? Gampang aja. Anak ayam itu gampang banget digiring- giring. Dimana dilihatnya ada sesuatu yang menarik- makanan, misalnya -disanalah dia akan menuju. Nyebur got, atau nyusruk ke balik semak pun dilakukan hanya demi mendapatkan apa yang dianggapnya menarik itu.

Begitu pun ketika dia melihat teman- temannya berkumpul, disanalah dia akan berada. Nggak peduli itu ditengah jalan yang ramai kendaraan, atau dilapangan yang jauh dari mana- mana asal ada teman- temannya, si anak ayam itu akan merasa aman.

Cupu memang. Tapi begitulah sifat anak ayam. Secara nggak langsung, sifat kayak gitu itu yang diliat sama temen gw itu dari generasi kita.

Coba aja liat, katanya. Setiap ada satu hal yang baru, atau lagi trendy, berbondong-bondong kita mencobanya. Peduli setan hal itu cocok atau nggak sama diri atau kantong kita, yang penting coba aja dulu.

Hal ini juga berlaku pada keseragaman gaya yang terjadi di generasi kita. Suka atau nggak, kata temen gw, muka anak-anak jaman sekarang tuh mirip. Nggak ada yang unik, yang ngebedain mereka satu sama lain. Satu rambutnya bergaya mocit (mohawk citos), lainnya pun begitu. Satu pake converse, lainnya ngikut beli converse. Satu asik ber J-Style, lainnya pun langsung ikutan.

"makanya gw suka ngerasa lagi berada diantara klub orang-orang kembar, kalo lagi jalan ke mal pas weekend...," celoteh temen gw.

Ngedenger celotehnya dan segala teori penuh dendam itu, gw cuma bisa tersenyum. Rada pahit. Solnya gimanapun sinis kedengarannya, apa yg dibilang sama temen gw itu ada benernya juga.

Satu-satunya pembelaan gw- nggak sampe terucap sih, cuma berhenti dikerongkongan- adalah, semua yang terjadi ini adalah sebuah proses. Proses yang wajar dialami oleh anak-anak seumuran kita. Proses yang disebut orang pinter sebagai pencarian jati diri.

Nah, nongol juga satu kekhawatiran di benak gw. Iya kalo proses ini akan berhenti disatu titik, kalo nggak??
Males juga sob! Masa iya sih, seumur hidup bakal kita abisin buat mencari jati diri, diantara segala hal yang sifatnya cuma semata?

Sementara temen-temen seumuran kita dibelahan dunia lain udah sibuk memaknai hidup dan lingkungan mereka mereka, bisa-bisa kita masih sibuk ngurusin warna apa lagi yang mau kita semprotin kerambut kita. Konyol kan??

Okelah. Sekarang kita boleh jadi anak ayam. Tapi, please, jangan cuma puas jadi anak ayam kalo emang kita bisa jadi ayam jago.
Setuju sob? (Kid- oest News).

Go with the flow? No, thank you. Saya lebih suka bergulir menggelinding seperti batu.

Seorang temen gw, dulu pernah bilang kalo prinsip hidupnya itu seperti air. Mengalir aja dari hulu ke hilir. Dengan kata lain, dia pengen masalah yang timbul selama perjalanan menuju kehilir itu, bisa dihadapi dan diselesaikan dengan santai, tenang, dan nggak pusing- pusing.

Selain itu, seperti air, dia juga pengen selalu bisa adaptif sama lingkungan tempatnya berada. Tau sendiri kan, yang namanya air emang paling bisa. Dituang ke gelas, bentuknya ya kayak gelas, dimasukin ke balon, chubby lah dia kayak balon. Begitu pun kalo dibuang ke sungai atau laut. Nggak pake basa basi, dia langsung akrab sama lingkungan barunya. Asik.

Sekilas, nggak ada salah- salahnya prinsip si temen gw itu. Sebaliknya, buat kondisi sekarang ini prinsip seperti itu justru sangat- sangat menguntungkan. Iyalah, apa sih yang bisa kita dapet dari dunia ini kalo misalnya kita niat sama sebentuk idealism buta dan bersikap kaku terhadap lingkungan sekitar?

“loosen up!”
“nyantai ajalah… hidup udah susah. Nggak perlu dibawa susah!”
“go with the flow”

Dulu , gw sangat- sangat kagum sama prinsip hidup yang diobral- obral temen gw itu. Menarik dan bijak sekali, kedengarannya. Tapi, saat sekarang ini di inget-inget lagi, gw sendiri mikir apa bener kalo kita hidup selamanya harus ngalir?? Apa iya kita nggak bisa menetapkan jati diri kita yang sesungguhnya, atau berubah- ubah terus?

Bukankah disatu titik kita harus berhenti, dan lalu kalo bisa menancapkan tanda keberadaan kita? Tanda bahwa kita pernah hidup, dan menjadi berarti.

Udah begitu banyak contoh yang disajikan disekeliling kita. Begitu banyak penyimpangan yang terjadi selama ini yang diakibatkan sama ketidakmampuan kita menentukan posisi. Liat aja kasus lumpur Lapindo yang nggak kelar- kelar karena nggak ada sikap yang jelas. Juga soal ekspor Asap yang membuat tanah air tercinta ini diketawain sekaligus di caci sama Negara tetangga. Nggak ada sikap yang jelas dari pertama untuk menanggulangi masalahnya.

Hhmm, mungkin gw agak ngelantur dengan dua contoh itu. Tapi intinya, kalo aja ada seorang pengambil keputusan yang berani melawan arus (ya! Melawan. Bukan ngalir ikut arus!), dan berinisiatif untuk menyelesaikan kasus- kasus konyol tapi menyedihkan itu, mungkin jadinya nggak separah sampai sekarang ini.

Sama juga dengan beberapa kasus megakorupsi yang sempet booming. Atau soal kasus mafia pajak yang juga sempet heboh beberapa waktu lalu. Pengen aman dan nyaman, buat apa diributin adanya penggelapan, suap itu? Toh selalu ada jatah yang masuk kantong. Berhubung hal ini sudah menahun, apa yang harusnya penyimpangan, jadi satu hal yang wajar. Kayak sebuah iklan rokok bilang, jalan pintas dianggap pantas.

Dan, gw percaya betul bahwa semua itu bermula awalnya dari prinsip mengalir seperti air yang diterjemahkan secara SALAH oleh para oknum itu. Jujur, kalo udah begini, daripada go with the flow, gw mendingan bergulir menggelinding seperti batu ! (Kid- oest News).