Go with the flow? No, thank you. Saya lebih suka bergulir menggelinding seperti batu.

Seorang temen gw, dulu pernah bilang kalo prinsip hidupnya itu seperti air. Mengalir aja dari hulu ke hilir. Dengan kata lain, dia pengen masalah yang timbul selama perjalanan menuju kehilir itu, bisa dihadapi dan diselesaikan dengan santai, tenang, dan nggak pusing- pusing.

Selain itu, seperti air, dia juga pengen selalu bisa adaptif sama lingkungan tempatnya berada. Tau sendiri kan, yang namanya air emang paling bisa. Dituang ke gelas, bentuknya ya kayak gelas, dimasukin ke balon, chubby lah dia kayak balon. Begitu pun kalo dibuang ke sungai atau laut. Nggak pake basa basi, dia langsung akrab sama lingkungan barunya. Asik.

Sekilas, nggak ada salah- salahnya prinsip si temen gw itu. Sebaliknya, buat kondisi sekarang ini prinsip seperti itu justru sangat- sangat menguntungkan. Iyalah, apa sih yang bisa kita dapet dari dunia ini kalo misalnya kita niat sama sebentuk idealism buta dan bersikap kaku terhadap lingkungan sekitar?

“loosen up!”
“nyantai ajalah… hidup udah susah. Nggak perlu dibawa susah!”
“go with the flow”

Dulu , gw sangat- sangat kagum sama prinsip hidup yang diobral- obral temen gw itu. Menarik dan bijak sekali, kedengarannya. Tapi, saat sekarang ini di inget-inget lagi, gw sendiri mikir apa bener kalo kita hidup selamanya harus ngalir?? Apa iya kita nggak bisa menetapkan jati diri kita yang sesungguhnya, atau berubah- ubah terus?

Bukankah disatu titik kita harus berhenti, dan lalu kalo bisa menancapkan tanda keberadaan kita? Tanda bahwa kita pernah hidup, dan menjadi berarti.

Udah begitu banyak contoh yang disajikan disekeliling kita. Begitu banyak penyimpangan yang terjadi selama ini yang diakibatkan sama ketidakmampuan kita menentukan posisi. Liat aja kasus lumpur Lapindo yang nggak kelar- kelar karena nggak ada sikap yang jelas. Juga soal ekspor Asap yang membuat tanah air tercinta ini diketawain sekaligus di caci sama Negara tetangga. Nggak ada sikap yang jelas dari pertama untuk menanggulangi masalahnya.

Hhmm, mungkin gw agak ngelantur dengan dua contoh itu. Tapi intinya, kalo aja ada seorang pengambil keputusan yang berani melawan arus (ya! Melawan. Bukan ngalir ikut arus!), dan berinisiatif untuk menyelesaikan kasus- kasus konyol tapi menyedihkan itu, mungkin jadinya nggak separah sampai sekarang ini.

Sama juga dengan beberapa kasus megakorupsi yang sempet booming. Atau soal kasus mafia pajak yang juga sempet heboh beberapa waktu lalu. Pengen aman dan nyaman, buat apa diributin adanya penggelapan, suap itu? Toh selalu ada jatah yang masuk kantong. Berhubung hal ini sudah menahun, apa yang harusnya penyimpangan, jadi satu hal yang wajar. Kayak sebuah iklan rokok bilang, jalan pintas dianggap pantas.

Dan, gw percaya betul bahwa semua itu bermula awalnya dari prinsip mengalir seperti air yang diterjemahkan secara SALAH oleh para oknum itu. Jujur, kalo udah begini, daripada go with the flow, gw mendingan bergulir menggelinding seperti batu ! (Kid- oest News).

Teknologi Ban

Sejak ditemukan pertama kali ban sudah di tetapkan sebagai teknologi yang inovatif. Nggak taunya hingga sekarang inovasinya terus berlanjut.

SEJARAH BAN
bermula pada tahun 1844 saat Charles goodyear menemukan proses pengolahan karet dalam produksi ban. Tahun 1845, ban pneumatic (berisi udara) diciptakan oleh Robert William Thomson , seorang insinyur skotlandia. Temuan ini disempurnakan lagi oleh john boyd Dunlop pada tahun 1887 lewat ban dengan penampang berlapis. Ban inilah yang digunakan kendaraan bermotor pertama dan pesawat terbang. Sampai akhirnya ditemukan desain yang lebih modern yaitu ban radial oleh Michelin pada tahun 1946.

MATERIAL UTAMA
Hingga saat ini karet masih unsure utama dari sebuah ban. Makanya kita akrab dengan istilah ban karet. Tapi kalo istilah ban karet terbuat dari 100 persen bahan karet rada salah tuh. Soalnya selain karet ada kandungan material lain yang menyempurnakan kandungan ban. Maka istilah yang tepat adalah ban karet sintetis. Hampir semua ban merupakan produk karet sintetis.
Yang jelas karet merupakan kandungan terbesar yang ada dalam sebuah ban. Ini karena bahan karet tidak cepat menyerap panas. Menurut proses produksinya, ada 3 jenis karet sintetis yang saat ini digunakan pada ban.

1. Styrene
Merupakan karet sintetis yang sangat popular dikalangan produsen ban. Biasanya dikenal dengan SBR. Produsen ban menyukainya karena material ini mengandung minyak yang menambah daya cengkram ban. Yang terpenting adalah biaya produksinya rendah. Dan konsumen diuntungkan karena masa pakai ban dengan jenis ini lebih panjang.

2. Polybutadiene
Merupakan karet sintetis tambahan yang mulai digunakan pada ban standar. Karet sintetis jenis ini adalah kemampuannya yang menahan penyerapan panas berlebihan dari sebuah ban.

3. Halobutyl Rubber
Karet sintetis yang sering digunakan untuk ban-ban tubeless. Unsure halogen yang terkandung didalamnya saling mengikat dengan unsure ban sintetis standar lainnya. Karet sintetis ini menggantikan peran ban dalam.

Adapun material pendukung yang fungsinya menambah peforma ban adalah terdiri dari susunan :
a. Carbon, dengan fungsi menahan pengikisan.
b. Silica, yang menahan carbon menyerap panas berlebihan.
c. Sulphur, mengikat molekul- molekul karet.
d. Accelerator, adalah senyawa rumit yang mempercepat proses vulkanisir.
e. Activator, senyawa penting untuk vulkanisir
f. Antioxidant, pencegah peretakan pada permukaan ban.
g. Textile, bahan yang melapisi kerangka ban.

Bisa dibilang konstruksi ban yang meliputi berbagai material diatas udah cukup perfect. Hanya saja nggak berarti inovasi baru nggak terus dilakukan untuk memaksimalkan peforma ban. Salah satu inovasi Goodyear yang menggunakan serat karbon pada lapisan penampangnya. Efeknya adalah menghasilkan respons serta steering lebih mantap. (Kid- oest News : dari berbagai sumber).